GELAS KACA

Lazimnya sebuah gelas yang dibuat dari kaca, ia sangat mudah retak, pecah, jatuh hingga hancur berkeping-keping. Jika sudah berserakan, apakah ia akan bisa direkatkan secara utuh kembali? Bisa saja barangkali, tetapi pasti memakan waktu yang lama dan ada ‘bekas’ jejak retak yang ditinggalkan. Seperti sebuah puzzle, ia bisa disusun kembali, membentuk sempurna sebuah gambar dengan goresan-goresan yang terbentuk di dalamya. Baca lebih lanjut

LIMASKEETERS

Adalah Mujib anak saya, Revan, Deaz, Adi dan Ade. Mereka berlima kecuali Ade, duduk di bangku kelas 3 di salah satu SDIT di Bandung. Sedangkan Ade, adiknya Adi masih di kelas 1.

Revan, anak berkaca mata, tubuhnya tinggi dan gempal, kulitnya sedikit gelap. Tutur kata dan perilakunya halus dan sopan. Berbicara dengan sangat baik, mengalahkan saya, tertata dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Deaz, perawakannya sedang-sedang saja, berkulit sawo matang. Apabila tertawa, dua gigi seri atasnya lebih terlihat daripada gigi lainnya.

Adi, tubuhnya tidak terlalu kutilang dan berkulit putih. Sedangkan Ade, sang adik, memiliki tubuh lebih padat dan lebih gelap.

Kelima anak ini, rambutnya tajam, duri landak saya kecil menyebutnya kepada mereka dengan rambut cepak berdiri.
Saya senang dengan anak-anak ini, bahasa mereka bersih dari sebutan penghuni kebun binatang.

Dalam satu minggu, mereka bertemu di sekolah selama lima hari mulai dari jam 07.30 hingga jam 15.00. Kecuali Mujib, mereka pergi dan pulang sekolah menggunakan kendaraan jemputan. Sesekali Revan dijemput oleh ayahnya dengan mobil sedan. Sedangkan Mujib, saya jemput dengan bebek besi yang tidak bisa berenang atau sepeda. Meski butut, Si Pamer (Sepeda Merah) dengan kursi rotan bertengger di rangkanya, tempat duduk putri kecil saya kalau merengek minta ikut emaknya, berjasa banyak, hemat bos, xixi, boros di keringat saja. Heheh. Sedangkan kakaknya dibonceng di belakang. Kalau gowesan saya menyiput, Mujib membantu menyemangati saya biar mengayuh lebih cepat. Bukannya apa-apa, kalau lelet ia bisa melewatkan Marsuphilami, Si Huba-huba! Duhhh, gowes bertiga triple capeknya!

Beberapa hari belakangan ini Deaz enggan ikut jemputan. Ia lebih suka ikut dan main terlebih dahulu di rumah Mujib. Sudah jam 4, hari sudah mendung, Deaz tidak mau pulang. Dengan bujukan, akhirnya Deaz mau saya antar dengan kuda besi saya.
Tiba di rumahnya, sepi. Pagar masih tertutup rapat. Saya menanti di luar menunggu hingga Deaz masuk rumah. Ia tampak berkeliling mencari sesuatu. Akhirnya saya turun. Ternyata kunci yang biasa diletakkan ibunya di atas pot tidak ada! Saya menunggu, sambil menghubungi ponsel ibunya, tidak ada jawaban, mungkin sedang di jalan. Melihat Deaz bersama orang asing, anak-anak usia 5 tahunan menghentikan permainan karetnya, mengintip dari luar pagar, saya memang alien, orang asing, iya toh? Kemudian para tetangga mulai datang, ibu siapa, gurunya? Dari Deaz saya tahu bahwa ia tinggal hanya bersama kakaknya yang belum pulang sekolah dan ibunya saja. Sedangkan ayahnya sudah tidak serumah lagi. Saya pamit ketika ada ibu tetangga yang mengajak Deaz serta ke rumahnya sembari menunggu ibunya pulang bekerja.
Keesokan harinya Deaz ikut saya lagi, saya antar pula pulang ke rumahnya yang berjarak sekitar dua kilometer dari rumah saya. Kali ini kakaknya sudah ada di rumah. Saya tenang. Di pertigaan saya berpapasan dengan motor ibunya, berbincang sebentar, ibunya berkata bahwa ia sudah mewanti Deaz agar tidak mampir ke rumah saya karena takut merepotkan. Saya bilang tidak apa-apa Bu. Saya menangkap sinar tersayat dari matanya yang berkaca-kaca, karena keadaanlah yang memaksanya meninggalkan Deaz sendiri.

Mengetahui Deaz main ke rumah, tidak lama berselang, Revan, Adi dan Ade datang bersepeda dengan baju kebangsaan, t-shirt dan celana bermuda. Petir sudah menggelegar, Revan pamit pulang lebih dulu. Adi dan Ade bertahan, nanti saja Mi jam 5 pulangnya. Hujan turun dengan derasnya. Setelah meni’mati roti yang saya sajikan Adi dan Mujib bermain Plants VS Zombies. Saya rebah, lelah. Tiba-tiba Ade menangis, masya Allah, ia sakit gigi. Ade meraung memegang pipinya. Gawat! Segera saya beri Praxion. Ade masih berderai, saya elus rambutnya, Mamaaa….. Hati saya pedih. Ade tertidur. Posisi bantal terlalu tinggi, ketika dibetulkan ia terbangun, kembali berujar, Mamaaa…. Tidak ada. Ade beringsut menghampiri merapatkan tubuhnya ke kakaknya. Obat sudah bereaksi. Saya bujuk kembali agar bersedia di antar pulang. Sudah hampir maghrib. Tidak lupa mereka pun dipakaikan helm, punya anak-anak. Saya tahu rasanya sakit gigi, sedikit saja ada angin menembus lubang, sudah dapat membuat sakit lagi.

Rumahnya luas bercat putih, berpagar tinggi berlapis fiber glass. Seutas rantai sebesar lengan membelit pintu pagar. Saya klakson tiga kali. Pagar masih tertutup. Kunci kontak saya cabut. Adi dan Ade membuka sendiri pagar rumahnya. Mereka pamit. Saya masih menunggu. Ayah dan ibu Adi belum pulang. Lalu saya mendengar suara perempuan paruh baya yang menjadi pengasuhnya berteriak lantang:
“Bagus, semakin hari kalian semakin nakal saja, keluyuran setiap hari. Mau jadi apa kalian? Mau jadi anak jalanan? Awas, nanti bilangin Papa!”
Senyap.

Saya menarik napas panjang. Saya klakson sekali, lalu berputar arah kembali menuju rumah dengan hati terkoyak meninggalkan anak-anak yang membunuh sepi harinya bersama saya.

Cerita Hati Temanku

Seorang teman berkisah, ketika jarak memisahkannya hingga saat perjumpaan kembali dengan suaminya tercinta adalah saat yang dinantikan. Ia telah bersiap diri, mandi dan berpakaian yang menurutnya rapi. Ia juga telah menyiapkan sebungkus nasi kuning hangat yang telah dibelinya bersama anak sulungnya sedari fajar.

Paaaap, klakson berbunyi. Wahh, akhirnya datang juga, kisahnya. Tentu ia menduga bahwa suaminya merasa lapar setelah melakukan perjalanan jauh. Hmmm, hendak sarapan? Tidak, terima kasih, saya sedang berpuasa, jawab suaminya. ????????? Kecewalah temanku.

Bercerita memang dapat sedikit mengurangi beban hidup. Kepada saya? Duh, siapalah saya yang fakir ilmu ini. Setidaknya dengan mau mendengarkan, ia berharap beban itu dapat berkurang.

Saya coba menggali apa sebenarnya yang tengah ia rasakan. Ternyata tidak semata karena nasi hangat yang tidak bisa ia sajikan. Lebih dari itu, ia yang dulu hitam manis dan kini merasa tinggal kulit hitamnya saja, sudah tidak lagi menarik di mata suaminya, tidak diinginkan.

Ia memiliki pandangan, bahwa benar mengutamakan kecintaan kepada Allah adalah hal yang tidak terbantahkan. Tetapi tanpa mengabaikan akan haknya sebagai istri. Terlebih pertemuan yang teramat terbatas waktu dan jarak.

Bingung saya jawabnya, saya mengerti perasaannya. Yang saya bilang kepada teman saya, bahwa segala sesuatu tidak terlepas dari takdirNya. Bersabar dan berdo’a saja, seraya introspeksi dan berhusnudzhan kepada suaminya. Ia sedang berusaha agar dicintai Allah, berdo’alah pula agar Allah pun meningkatkan cinta suaminya kepadanya.

SAHABAT

Lebih dari sekedar sebuah pertemanan biasa. Ia lebih dekat, lebih dalam, ada keterikatan hati, kesamaan visi, yang membuatnya selalu ada ketika salah satu pihak memerlukan bantuan, nasehat yang dapat menbantunya berdiri tegak ketika berbagai problematika hidup datang menghampiri.

Siapkah kita menjadi sahabat yang wangi sehingga ketika hadir dapat memberi nuansa sejuk, yang dapat memberi sedikit saja rasa nyaman atau memberi semangat meski itu hanya berupa sebuah senyuman kecil namun tulus diberikan?

Sebaik-baik setiap diri adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Saya, anda, kita harus berusaha mewujudkannya. Karena kita adalah saudara, sahabat sebagai insan di bumi ini.