Cerita Hati Temanku

Seorang teman berkisah, ketika jarak memisahkannya hingga saat perjumpaan kembali dengan suaminya tercinta adalah saat yang dinantikan. Ia telah bersiap diri, mandi dan berpakaian yang menurutnya rapi. Ia juga telah menyiapkan sebungkus nasi kuning hangat yang telah dibelinya bersama anak sulungnya sedari fajar.

Paaaap, klakson berbunyi. Wahh, akhirnya datang juga, kisahnya. Tentu ia menduga bahwa suaminya merasa lapar setelah melakukan perjalanan jauh. Hmmm, hendak sarapan? Tidak, terima kasih, saya sedang berpuasa, jawab suaminya. ????????? Kecewalah temanku.

Bercerita memang dapat sedikit mengurangi beban hidup. Kepada saya? Duh, siapalah saya yang fakir ilmu ini. Setidaknya dengan mau mendengarkan, ia berharap beban itu dapat berkurang.

Saya coba menggali apa sebenarnya yang tengah ia rasakan. Ternyata tidak semata karena nasi hangat yang tidak bisa ia sajikan. Lebih dari itu, ia yang dulu hitam manis dan kini merasa tinggal kulit hitamnya saja, sudah tidak lagi menarik di mata suaminya, tidak diinginkan.

Ia memiliki pandangan, bahwa benar mengutamakan kecintaan kepada Allah adalah hal yang tidak terbantahkan. Tetapi tanpa mengabaikan akan haknya sebagai istri. Terlebih pertemuan yang teramat terbatas waktu dan jarak.

Bingung saya jawabnya, saya mengerti perasaannya. Yang saya bilang kepada teman saya, bahwa segala sesuatu tidak terlepas dari takdirNya. Bersabar dan berdo’a saja, seraya introspeksi dan berhusnudzhan kepada suaminya. Ia sedang berusaha agar dicintai Allah, berdo’alah pula agar Allah pun meningkatkan cinta suaminya kepadanya.

7 pemikiran pada “Cerita Hati Temanku

  1. Amin…… Allahumma amiiin….
    Allah mengetahui, apa yang biah inginkan,terhadap keluarga biah…
    Kesehatan,diangkat seluruh penyakit2nya…..

Tinggalkan Balasan ke jarimanisindonesia Batalkan balasan